Kebudayaan Rambu Solo’ juga dikenal sebagai “Aluk Rampe Matampu.” Jadi, jelas bahwa Aluk
Rampe Matampu dilaksanakan pada waktu matahari akan terbenam (sore hari), dan bukan pada waktu pagi hari. Dalam acara Rambu
Solo’ ini, salah satu hal yang sangat penting adalah upacara untuk pemakaman.
“Tahapan-tahapan pelaksanaan upacara Rambu Solo’ merupakan suatu peristiwa yang mengandung dimensi religi dan sosial. Apa yang dimaksudkan dalam pernyataan ini ialah dalam upacara Rambu Solo’ hal tersebut tidak terpisahkan dari
nilai-nilai kepercayaan orang Toraja, secara khusus apa yang disebut
sebagai ‘Aluk Todolo’ atau animisme.
Selain itu, hal tersebut juga
tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan masalah sosial, oleh karena itu
di dalam melakukan upacara Rambu Solo’ harus memperhatikan
strata sosial dari orang yang meninggal tersebut. Tidak sama dengan budaya lain di Indonesia, budaya Rambu Solo’ di Tana Toraja
justru menunjukkan atau memperjelas identitas diri dari pelakunya.
Dalam kebudayaan masyarakat Toraja dikenal 4 macam tingkat atau strata sosial, diantaranya:
1) Tana’ Bulaan atau golongan bangsawan;
2) Tana’ Bassi atau golongan bangsawan menengah;
3) Tana’ Karurung atau rakyat biasa/rakyat merdeka; dan
4) Tana’ Kua-kua atau golongan hamba.
Kelompok sosial
ini merupakan tatanan yang mengatur perilaku para anggota kelompoknya, termasuk memberi ciri-ciri yang khas dalam melaksanakan upacara Rambu Solo’. Bentuk upacara Rambu Solo’ yang dilaksanakan di Tana Toraja disesuaikan dengan kedudukan sosial masyarakatnya. Oleh
karena itu, upacara Rambu Solo’ di Tana Toraja dibagi ke dalam empat tingkatan, di mana setiap tingkatan juga masih memiliki
beberapa bentuk., sebagai
berikut:
Pertama, upacara Disilli’, yaitu upacara pemakaman yang paling rendah di dalam Aluk Todolo yang diperuntukkan bagi pemakaman strata yang paling rendah, atau anak-anak yang belum
mempunyai gigi.
Kedua, upacara Dipasangbongi, yaitu Upacara yang dimaksudkan sebagai upacara pemakaman yang hanya berlangsung selama satu malam. Upacara ini adalah untuk kelompok Tana’ Karurung (rakyat merdeka/biasa), namun juga bisa dilakukan oleh orang dari Tana’ Bulaan dan Bassi apabila secara ekonomi mereka tidak mampu.
Ketiga, upacara Dibatang atau Didoya Tedong. Setiap hari satu ekor kerbau ditambatkan pada sebuah patok dan dijaga oleh
orang sepanjang malam tanpa tidur. Selama upacara ini berlangsung, setiap hari ada pemotongan satu ekor kerbau. Upacara ini diperuntukkan bagi bangsawan menengah (Tana’ Bassi), tetapi
juga bisa dipakai untuk kaum bangsawan tinggi (Tana’ Bulaan) yang tidak mampu membuat upacara Tana’ Bulaan.
Keempat, upacara Rapasan. Dalam upacara jenis Rapasan,
upacara dilaksanakan sebanyak dua kali. Upacara Rapasan adalah
upacara yang dikhususkan bagi kaum bangsawan tinggi (Tana’ Bulaan). Upacara ini juga masih memiliki jenis-jenis, seperti:
1)
Upacara Rapasan Diongan atau Didandan Tana’ (artinya di bawah, atau menurut syarat minimal). Korban kerbau sekurang-kurangnya sembilan, dan babi sebanyak yang
dibutuhkan/sebanyakbanyaknya. Oleh karena upacara rapasan dilaksanakan sebanyak dua kali, maka upacara pertama dilaksanakan selama tiga hari
di halaman Tongkonan, dan upacara kedua dilaksanakan di Rante.
Upacara pertama disebut sebagai ‘Aluk Pia atau Aluk Banua’
yang berlangsung sekurang-kurangnya tiga hari di halaman Tongkonan, sedangkan upacara kedua disebut ‘Aluk Palao atau Aluk Rante’ karena pelaksanaannya berlangsung di Rante dan dapat dilangsungkan selama yang keluarga inginkan. Jumlah kerbau
yang dikorbankan dalam upacara pertama sama saja dengan jumlah
yang dikorbankan dalam upacara kedua, meskipun kadang-kadang ada yang melebihkan satu atau dua pada upacara kedua;
2) Upacara Rapasan Sundun atau Doan (upacara sempurna/atas). Upacara ini membutuhkan korban kerbau sekurang-kurangnya dua puluh empat ekor, dengan jumlah babi yang tak terbatas untuk dua
kali pesta. Upacara ini diperuntukkan bagi bangsawan tinggi yang kaya, atau para pemangku adat. Upacaranya berlangsung seperti upacara Rapasan Diongan; Upacara Rapasan Sapu Randanan (secara literal diartikan serata dengan tepi sungai). Upacara Rapasan
Sundun berlangsung dengan korban kerbau yang melimpah.
Ada beberapa pendapat dalam hal ini, yakni ada yang mengatakan di atas dua puluh empat kerbau, di atas tiga puluh kerbau dan bahkan ada tempat yang Dima’dikai yang menyebutkan di atas 100 ekor
kerbau.
Pada upacara ini selain menyiapkan ‘Duba-duba’ (tempat pengusungan mayat yang mirip dengan rumah tongkonan), disiapkan juga Tau-tau yaitu patung dari orang yang
meninggal, dan
diarak bersama dengan mayat ketika akan dilaksanakan Aluk
Palao atau Aluk Rante.
sumber: Tangdilintin 1979, AT,Marampa,Robi P {Konflik Kebudayaan Menurut Teori Lewis Alfred Coser Dan Relevansinya Dalam Upacara Pemakaman (Rambu Solo’ Di Tana Toraja)}