Masa To Manurung atau orang yang diturunkan dari kayangan. Setelah berlangsung beberapa generasi dimana manusia mulai berkembang dengan diiringi oleh terbentuknya Lembang baru. Hal ini mulai menimbulkan persaingan dan pertikaian antar kelompok. Karena Aluk Sanda Pitunna hanya mengatur intern kelompok, maka tidak dapat lagi mengatur hubungan antar Lembang.
Maka oleh dewa diturunkanlah "Aluk Sanda Saratu" aturan serba seratus, biasa juga disebut "Aluk Sanda Karua" karena dinilai sebagai pelngkap "Aluk Sanda Pitunna" yang mengatur hubungan antar komunitas atau antar lembang. Prinsip dasar adalah persatuan dan kesatuan dengan motto “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate.” Strategi sebagai pintu masuk adalah dengan pengembangan sejarah dan ikatan silsilah kekeluargaan antar Tongkonan yang menggambarkan kesatuan asal keturunan dan persamaan nasib.
Seluruh wilayah permukiman To Lembang dikoordinir dalam satu kesatuan yang dinamakan Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo. Dibentuk Forum Koordinasi yang mengatur tata hubungan antar lembang dan penyelesaian sengketa antar Lembang yang dinamakan Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan. Aturan tersebut tidak dapat berjalan karena tidak ada yang menjalankan atau tidak ada satupun dari Lembang yang ada dan mampu mengkoordinir.
Oleh karena itu diturunkanlah dari langit Puang Tamborolangi Yang dikenal dengan nama Tomanurun Puang Tamboro langi' dan mendarat di Puncak Gunung Kandora sebagai pelaksana aturan Sanda Saratu. Puang Tamboro Langi inilah yang merupakan nenek moyang raja-raja di Sulawesi khususnya di Selatan, Tengah dan Tenggara, yang kemudian diberi gelar Puang Tomatasak yang juga menjadi raja pertama di Toraja.
Pada penerapan aturan sanda saratu', mulailah berlaku sistem monarki dan stratifikasi yang ditandai dengan adanya pembagian 3 strata sosial, yakni golongan puang (keturunan tomanurun), golongan tomakaka (komunitas yang sudah ada sebelum kedatangan tomanurun) dan golongan kaunan (rakyat jelata atau hamba).
Dari beberapa sumber lain dikatan bahwa salah satu bagian dari aluk sanda saratu' adalah adanya keharusan untuk menyediakan serba 100, dalam artian 100 kerbau 100 babi 100 ayam dan lain-lain untuk rumpun keluarga dari kaum atau golongan kaunan untuk lepas dari golongan hamba tersebut, namun tidak menjadi atau masuk kedalam golongan puang. Secara kasarnya hanya menjadi rakyat jelata, setingkat to ma'dika.
Namun tidah semua daerah adat Padang dipuangngi yang melaksanakan dan menerima ajaran aluk sanda saratu’ ini karena daerah bagian Utara dari padang dipuangngi yaitu daerah Kesu’ dan sekitarnya. Menyebabkan daerah adatpadang dipuangngi terbagi 2(dua) yaitu :
- Daerah adat padang dipuangngi bagian selatan melaksanakan aluk sanda saratu’ disamping itu masih tetap melaksanakan aluk sanda pitunna.
- Daerah adat padang dipuangngi bagian utara yaitu daerah Kesu’ dan sekitarnya tidak melaksanakan aluk sanda saratu’ dan melaksanakan Aluk Sanda Pitunna sepenuhnya.
Karena daerah Kesu’ dan sekitarnya yang merupakan Daerah bagian Utara dari daerah adat padang dipuangngi tidak melaksanakan aluk sanda saratu’ maka daerah tersebut memisahkan diri dari daerah adat padang diPuangngi dengan masyarakat yang tetap berbentuk Kesatuan, kekeluargaan, dan kegotong – royongan sesuai dengan ajaran Aluk Sanda Pitunna. Dan dengan memisahkan diri dari daerah adat padang diPuangngi maka daerah kesu’ dan sekitarnya tidak lagi memakai gelar Puang sebagai gelar untuk Penguasa – Penguasa adatnya, tatetapi memakai Gelar Sokkong Bayu sebagai Gelar untuk Penguasa – Penguasa adat. Sokkong Bayu artinya Pemikil Beban yang terbesar dari masyarakat ( Sokkong = Kuduk, Bayu = Baju ).
Dengan tersebarnya aluk sanda saratu’ di daerah Bagian selatan padang di Puangngi maka daerah bagian utara memisahkan diri karna tidak melaksanakan ajaran aluk sanda saratu’ namun berdasarkan pembagian Dasar Lesoan Aluk yang telah di tetapkan sebelumnya Menurut ajaran Aluk Sanda Pitunna dari Tongkonan Banua Puan Marinding, daerah padang dipuangngi baik daerah bagian selatan maupun utara masih tetap berlaku yaitu Lesoan Aluk Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sereala.
Dalam perkembangan masyarakat didaerah bagian utara daerah adat padang dipuangngi yaitu kesu’ dan sekitaranya kemudian termasuk dalam kelompok adat Balimbing kalua’ dan sekarang ini sudah termasuk dalam daerah adat Padang di Ambe’i karena dalam pembinaan masyarakat dan pemerintahan sama dengan adat padang di Ambe’i namun dasar Lesoan aluk Daerah kesu dan sekitarnya masi tetap melaksanakan Lesoan Aluk Tananan Bua’ Pemala’ Tedong Sereala yang merupakan lesoan aluk padang di Puangngi.
Aluk sanda saratu' secara menyeluruh di gunakan diwilayah padang dipuangngi (tallulembangna & tallu batupapanna) pada saat cucu dari Patta La Bantan berkuasa, yakni Puang Timban Boro yang pada saat itu memusatkan pemerintahan padang dipuangngi di Tongkonan Kaero, Sangalla'. Tongkonan ini dulunya adalah Tongkonan dari tomanurun Puang Membio Langi' yang lebih dahulu datang.
Apabila dikaji secara mendalam maka makna dari cerita tersebut adalah “bahwa eksistensi raja atau pemimpin di Toraja diturunkan dari khayangan untuk melaksanakan peraturan demi kepentingan masyarakat,” jadi peraturan Sanda Saratu bukan untuk kepentingan raja tetapi untuk kepentingan rakyat dan bila tidak dapat mengemban tugas, maka raja diturunkan oleh dewa melalui Kombongan Kalua.
Kombongan Kalua sebagai alat dari Dewa berarti suara rakyat peserta kombongan diindentikkan dengan suara Dewa atau dengan kata lain adalah dewa dan keputusan Kombongan Titah Dewa. Upaya dan proses perkembangan tersebut di atas dimana komunitas dengan kelembagaan adatnya yang terbangun dari dan oleh mereka sendiri melalui musyawarah menciptakan suatu organisasi yang dinamis, mapan dan dapat menghadapi perubahan-perubahan.
Berasal dari sejarah asal-usul dan tradisi setempat dimana proses waktu serta dinamika pola interaksi sosial antar anggota komunitas serta dengan alam lingkungannya menghasilkan berbagai keragaman komunitas.
Keragaman budaya, sistem pemerintahan, sistem hukum serta kearifan tradisional sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut di atas. Dapat dipahami bila sebelum Pemerintahan Kolonial didapati berbagai ragam komunitas-komunitas yang berdaulat.
Keragaman dalam tradisi, sejarah, adat-istiadat sistem pemerintahan merupakan kekayaan budaya bangsa yang diakui melalui semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Di Toraja Komunitas Lembang diikat melalui semboyan “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada di Pomate Lan Lilina Lepongan Bulan Tana Matari Allo.
sumber : John Pangarrang, Tangdilintin(1978), toraja culture, wikipedia
ADS HERE !!!