Fenomena mayat berjalan memang lekat dengan Toraja.
Dimana cerita ini benar terjadi di tana toraja, tepatnya di
toraja bagian barat, juga di mamasa.
Namun itu tidak lagi terjadi seiring dengan perkembangan
jaman. Lebih tepatnya itu terjadi puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu,
ketika masyarakat toraja masih menganut kepercayaan yang disebut aluk todolo.
Ada dua kisah mengenai mayat berjalan.
Yang pertama adalah orang2 toraja dulu sering berburu &
mencari makan digunung atau dihutan, jauh dari tempat tinggalnya, sehingga jika
ada salah satu dari mereka yang meninggal pada saat itu, kemudian digunakan
ilmu gaib untuk membangunkan mayat agar kembali berjalan menuju rumahnya Untuk
tidur dengan tenang atau dikuburkan dengan layak oleh keluarganya. Dan bahkan bisa
berjalan menuju kuburnya yang berupa liang batu.
Yang kedua adalah, dahulu terjadi perang saudara di toraja
yang melibatkan masyarakat toraja bagian barat dan bagian timur yg dibantu oleh
beberapa daerah di di utara.
Namun dalam peperangan itu, karena kalah jumlah, toraja barat pun kalah Dengan
banyaknya dari mereka yang gugur. namun
pada saat akan kembali ke kampungnya, mayat tersebut dibuat berjalan pulang.
Berbanding terbalik dengan orang dari timur yang mengangkat rekan mereka yang
gugur. Peperangan tersebut kemudian dianggap seri.
Ritual ma’nene yang menakjubkan dari toraja kini dianggap
atau bahkan disalah pahami oleh mereka yang belum paham mengenai ritual ini.
Banyak dari mereka yang menyangka bahwa ritual ma’nene adalah ritual walking dead
atau membuat mayat berjalan seperti yang dilakukan oleh orang toraja jaman
dulu.
Yang sebenarnya ritual ma’nene’ adalah ritual membersihkan
makam dan mengganti pakaian leluhur. Itulah cara masyarakat toraja menghormati
leluhur mereka, nenek moyang yang dianggap akan tetap menjaga masyarakat
toraja. Memang benar pada dasarnya pada ritual ini, mayat berdiri layaknya
orang yang masih hidup. Namun tidak dibuat berjalan.
Ritual ma’nene’ sendiri bermula pada ratusan tahun lalu
dimana saat itu seorang masyarakat baruppu’ bernama pong rumasek pergi berburu
di pegunungan balla. Kemudian dia melihat mayat yang sudah hampir tidak utuh
lagi sebagian hanya berupa tulang. Kemudian dia membungkus mayat tersebut
dengan pakaiannya kemudian dikuburkan ditempat yang layak. Setelah saat itu
pong rumasak sering mendapat hewan buruan dengan mudah dan hasil pertaniannya
pun jauh lebih baik.
Kemudian disimpulkannyalah bahwa menghargai orang yang sudah
matipun memberikan berkat.
Jadi, berbeda antara mayat berjalan dengan proses ritual ma’nene.
membuat mayat berjalan sudah tidak lagi dilakukan, namun ma’nene masih
dilakukan hingga kini.
VIDEO
ADS HERE !!!