Penguasa-penguasa dibagian selatan(Bambapuang) saling
memperebutkan kekuasaan baik itu, puang melawan puang, puang melawan siambe’ arroan dan puang bongga melawan puang. (puang bongga adalah pemimpin dari
gabungan antara daerah yang dikuasai oleh puang dan siambe’ arroan yang disebut
bongga, bongga=besar,hebat).
Saat itu wilayah selatan semakin melemah dan kacau, sehingga
anak dari Puang ri Buntu, yakni Tangdilino membawa beberapa orangnya untuk
berpindah tempat ke bagian utara (Marinding). Dalam versi lain juga disebutkan
bahwa Tangdilino tidak diketahui pasti asal usulnya, mungkin saja dari dunia
lain, atau yang sering disebut tomanurun, namun dalam sejarah Toraja yang
berkembang saat ini, tidak pernah disebutkan bahwa Tangdilino adalah seorang
tomanurun.
Tangdilino mengatakan bahwa sistem kapuangan tidak begitu
diterima oleh sebagian orang, disebabkan oleh banyaknya puang yang saling
berebut daerah kekuasaan dimana pada akhirnya rakyat yang menderita.
Kemudian membangun Tongkonan di Marinding yang diberi nama
Tongkonan Banua Puan Marinding. Konon rumah tongkonan ini dibawa dari
bambapuang dengan tidak membongkarnya, namun tetap utuh, dibawa dengan cara
disorong. Banua Puang berarti rumah puang, rumah tuan/pemilik. Banua Puan ini
hadir di Marinding pada abad ke sepuluh.
Diketahui bahwa banua Puan Yang didirikan Ma'dika Tangdilino ini adalah Tongkonan pertama yang ada di Toraja.
Meskipun banua puang masih berasal dari daerah kapuangan,
namun dalam keseharian tidak ada lagi pemimpin yang di beri gelar puang, namun
diberi gelar Ma’dika, seperti gelar yang di pakai oleh Tangdilino. To Ma’dika
Tangdilino. Ma’dika berarti merdeka.
Pada masa yang sama abad kesepuluh, sekitar tahun 929 M, saat
itu Empu Sindok mendirikan sebuah dinasti di Jawa Timur yang disebut daerah
perddhiikan, mempunyai arti yang sama
dengan kata Ma’dika atau maraddhika atau merdeka. Tidak diketahui pasti adakah
hubungan antara Tangdilino dengan dinasti di Jawa tersebut, ataukah hanya
kebetulan saja.
Tangdilino kemudian dikenal sebagai Ma’dika Tangdilino,yang
menjadi pemimpin baru di sebelah utara dari wilayah kapuangan(wilayah yang
dipimpin oleh puang-puang), namun tidak sepenuhnya menguasai Toraja,
dikarenakan ajaran/aturan yang dibuat belum diketahui oleh kelompok-kelompok
arroan yang tersebar diwilayah Toraja yang memang lebih dahulu datang.
Aturan yang dibuat oleh Tangdilino disebut “Aluk Sanda
Pitunna”, yang kemudian dijadikan dasar kehidupan masyarakat disebelah utara wilayah
kapuangan (kini Toraja). Ketika ajaran tersebut semakin dikenal dan diterima
oleh pemimpin-pemimpin di setiap wilayah diutara, kemudian wilayah-wilayah
tersebut disatukan dalam satu nama, yaitu “Tondok Lepongan Bulan Tana Matari
Allo”. Yang berarti suatu kesatuan wilayah yang berbentuk bulat seperti bulan
dan matahari, dimana tidak ada satu orang pemimpin absolut. Setiap wilayah
tetap dipimpin oleh penguasa setempat dengan gelar sesuai dengan yang ada pada
daerah tersebut.
Dalam sejarah Toraja disebut bahwa Tangdilino menikah dengan
anak dari Puang Ri Tabang yang tidak lain adalah sepupunya sendiri bernama Buen
Manik. Dan dari pernikahan mereka itu lahir 9 (Sembilan) orang anak dan
merekalah yang menyebarkan Ajaran Aluk Sanda Pitunna serta melebarkan kekuasaan
dari Tangdilino’ dengan pusat kekuasaan dari Banua Puan Marinding.
Kesembilan anak dari Tangdilino antara lain yaitu :
1. Tele Bue yang
Pergi ke daerah Duri Enrekang.
2. Kila’ yang pergi
ke daerah Buakayu.
3. Bobong Langi’ yang pergi ke daerah Mamasa.
4. Parange yang
pergi ke daerah Buntao’
5. Pata’ba’ yang
pergi ke daerah Pantilang
6. Lanna’ yang
pergi ke daerah Sangalla’
7. Sirrang yang
pergi ke daerah Dangle’
8. Patang tinggal
di Banua Puan Marinding
9. Pabane’ pergi ke
daerah Kesu’.
sumber:red.raputallangku, toraja-culture(blog), Tangdilintin(1981) dan beberapa sumber lain