Lakipadada adalah keturunan Puang Tamboro Langi, yang juga
adalah raja pertama dengan julukan Puang
Tomatasak I. Puang Tamboro Langi’ memperistrikan Puang Sanda Bilik dari daerah aliran Sungai
Sa’dan di Sapan Deata,melahirkan 4 orang Putera, yakni Puang Papai Langi’ di
Gasing, Puang Tumambuli Buntu di Napo, Puang Sanda Boro di Batu Borrong(Kaki
Gunung Sinaji) dan Puang Messok di Rano Makale.
Kemudian puang Sanda Boro diangkat sebagai Puang Tomatasak
Muda di Kalindobulanan di tondokna Lepongan Bulan,kawin dengan seorang Putri,
bernama Puang Bu’tui Pattung,berasal dari Batu Borrong,melahirkan 4 orang anak,
yakni Puang Palandongan di di Marintang, Puang Rombe Londong di Tabang, Puang Mate Malolo (meninggal saat masih gadis)
dan Puang Lakipadada.
Kala itu Keluarga Lakipadada dirundung duka dengan kematian
saudara perempuannya yakni puang Mate malolo pada usia yang masih sangat muda,
kemudian dilanjutkan dengan kematian beberapa orang dalam keluarga dan
pengawal-pengawal andalannya.
Sehingga muncul pemikiran Lakipadada untuk mencari mustika untuk
membuat orang hidup kekal abadi yang disebut kala itu disebut “pedampi tangmate”.
Perjalanan dilakukan dengan melintasi hutan dengan
menumpangi kerbau Bonga hingga sampai ke teluk bone, dan pada saat itu kerbau bonga
yang dibawanya ditukar dengan seekor buaya sakti yang kemudian digunakan untuk
mencari pulau Maniang yang diduganya dihuni oleh seorang yang tua yang katanya
mempunyai mustika tersebut.
Ketika bertemu dengan orang tua tersebut, Lakipadada diberi
1 syarat untuk memperoleh mustika, yakni untuk berpuasa selama 7 hari 7 malam.
Namun Lakipada tidak berhasil menyanggupi syarat itu dengan pemikiran bahwa
untuk berpuasa selama itu mungkin dia akan meninggal dan pedampi tang mate
mungkin melawan kehendak pencipta.
Kemudian Lakipadada melanjutkan perjalannya dengan
bergelantungan dikaki burung Kuwajeng raksasa yang membawanya hingga ke daerah pesisir
pantai(wilayah kerajaan gowa).
Banyak
tempat di daerah pesisir ini yang dikunjungi oleh Lakipadada, salah satunya
adalah daerah yang kini dikenal dengan nama Bantaeng. Disana Lakipadada diberi
gelar Karaeng Bayo. (Budayawan Sulsel, Prof Dr A. Zainal Abidin).
Lama
tinggal di daerah pesisir, Karaeng Bayo menjadi Salah satu orang yang disegani
dan dihormati ketika berhasil memperistri salah seorang putri dari bangsawan
kerajaan Gowa yakni Karaeng Tata Lolo.
Dari
hasil perkawinan tersebut menghasilkan 3 orang anak, yakni Puang Patta La
Bantan, Puang Patta La Bunga dan Puang Patta La Merang. Ketiga anak ini menjadi
pemimpin di 3 kerajaan besar di sulawesi, yakni
Gowa, Luwu dan Toraja. (Toraja bukanlah daerah dengan sistem
pemerintahan kerajaan, namun dianggap setara dengan sebuah kerajaan besar
karena beberapa faktor seperti kekuatan perang, jumlah masyarakat dan
faktor-faktor lain).
Puang
La Bunga di jadikan raja di Luwu dengan julukan “payung ri luwu”, Puang La
Merang menggantikan Lakipadada di kerajaan Gowa dengan julukan “somba ri gowa” dan Puang La Bantan dikirim kembali ke kampung
halaman leluhurnya yaitu Toraja, dengan maksud menjaga stabilitas akibat konflik
antar daerah di Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo.
Ketiga
anak Lakipada inilah yang menjadi pemersatu dari 3 wilayah paling kuat di
sulawesi saat itu. Yang dalam budaya Toraja
dikenal dengan sebutan “Tallu Botto” ( Tallu = Tiga, Botto = Puncak/ Penguasa)
Puang
La Bantan yang kembali ke Toraja diangkat menjadi Raja dengan gelar Puang Tomatasak ke empat.Menikah dengan Petimba Bulaan dari Nonongan
yakni cucu dari puang Manaek pendiri tongkonan Nonongan dan melahirkan putera
bernama Puang Timban Boro (Puang Tomatasak V).
Puang Patta La Bantan inilah yang membangun
Kaero sebagai Tongkonan Layuk di Kalindobulanan Lepongan Bulan, yang merupakan
pusat atau inti pemerintahan dari 3 pembagian wilayah yakni Makale, Sangalla’
dan Mengkendek atau yang dikenal dengan sebutan “tallu lembangna”.
Diolah dari berbagai sumber ditambah dengan Legenda Karaeng Bayo(Bantaeng) serta buku Paths and Rivers (Sa’dan Toraja Society In Transformation,Nedherland. 2009 ).
Dalam sisi lain kisah sejarah kerajaan Gowa, dikatakan bahwa Karaeng Bayo berbeda dan merupakan saudara dari Lakipadada. Dimana Karaeng Bayo menikahi Raja Gowa yang merupakan seorang wanita Tomanurung dan memiliki satu orang anak yang dinamai Tumassalangnga Baraya.
Buku Sejarah Gowa, karya Abd. Razak Daeng Patunru, 1993. & Lakipadada Tang Mate , tulisan Noertika (Daeng Rusle)
Tidak ada penjelasan berupa tulisan mengenai Lakipada,
hanya diceritakan secara lisan turun-temurun dari generasi ke generasi,
sehingga dibutuhkan koreksi yang mendalam dari pembaca yang mungkin adalah pakar
dan atau pihak-pihak yang juga mengetahui kisah Lakipadada ini.
Kurresumanga'