|
pict. 1988 |
Tongkonan berasal dari kata “tongkon”, yang berarti duduk,
dimana secara harfiah diartikan sebagai tempat bagi orang-orang dalam satu
rumpun untuk bermusyawarah dan menjalin hubungan kekerabatan antar keturunan
dari orang terdahulu yang mendirikan tongkonan.
Banyak yang mengatakan bahwa tongkonan berbentuk seperti
perahu kerajaan China zaman dahulu, berdinding papan dengan dipenuhi
ukiran-ukiran yang menandakan status pemiliknya. Posisi dan letak tangganya disesuaikan dengan konsep
kepercayaan masyarakat Toraja zaman dahulu, yaitu aluk todolo.
Tongkonan dipercaya adalah perahu dari para imigran dari
indochina yang menyusuri sungai Sa’dan dan akhirnya berhenti karena sungai
semakin mengecil dan arus yang semakin
deras, sehingga mereka membongkar perahu dan membawa bagian-bagiannya keatas
gunung untuk kemudian dijadikan tempat tinggal, namun tetap dengan bentuk yang
seperti perahu ditandai dengan bagian depan dan belakang yang menjulang tinggi.
Menurut sejarah Toraja, tongkonan pertama adalah tongkonan
yang didirikan oleh Ma'dika
Tangdilino di Marinding, yang diberi nama Tongkonan Puan
Marinding.
Di toraja sendiri dikenal 4 tingkatan tongkonan sesuai
dengan peranan dan fungsinya, yakni:
Tongkonan Layuk(tongkonan dengan tingat paling tinggi.
Layuk=tinggi,agung),sebagai tempat membuat perintah-perintah dan aturan-aturan
yang kemudian diberlakukan dalam kehidupan masyarakat, misalnya tata cara
kehidupan dan keagamaan. Tongkonan ini juga sering disebut tongkonan pesiok
aluk.
Tongkonan Pekamberan/Pekaindoran dan sering juga disebut
Tongkonan Kaparengngesan, Tongkonan Kabarasan/Tongkonan
Anak Patalo. Yaitu tongkonan yang didirikan oleh pemimpin adat yang digunakan
sebagai tempat mengurus atau mengatur jalannya aturan-aturan yang telah dibuat di
Tongkonan Layuk.
Tongkonan Batu A’riri, yaitu tongkonan yang dibuat oleh
suatu rumpun keluarga untuk menjaga warisan keluarga dan tempat berkumpulnya
anak cucu dalam satu garis keluarga namun tidak mempunyai kekuasaan dan peranan
seperti Tongkonan Layuk.
Ada juga yang disebut Banua Pa’rapuan, sebagai tempat
berkumpulnya orang-orang dalam satu garis keluarga, dimana peranannya juga sama
dengan Tongkonan A’riri sebagai tongkonan penunjang. Dilihat dari bentuknya,
Banua Pa’rapuan sedikit berbeda dengan Tongkonan, dimana hanya bagian depan
yang menjulang tinggi, namun bagian lain sama seperti rumah biasanya. Bagian ini
disebut Longa.
Hal yang menandai bahwa sebuah tongkonan adalah Tongkonan Layuk atau Tongkonan Anak Patalo adalah dari bagian depan yang biasanya
diberikan ornamen kepala kerbau dan kepala ayam yang diartikan kepemimpinan,
dimana simbol ini tidak boleh dipasang pada Tongkonan Batu A’riri.
Walaupun bangunannya sudah tidak ada, nama Tongkonan Layuk
dan Tongkonan Anak Patalo masih sering disebutkan dalam suatu acara,
dikarenakan dari situlah bersumber aturan-aturan yang digunakan. Berbeda dengan
Tongkonan Batu A’riri yang kadang tidak disebutkan lagi namanya jika bangunannya sudah
tidak ada.
Dengan melihat Tongkonan Layuk adalah tongkonan pada tinggat
tertinggi maka bisa dikatakan bahwa pemimpin dari Tongkonan Layuk adalah
pemimpin di wilayah tersebut.
Dalam kepemimpinan tongkonan, hanya keturunan anak patalo
yang dapat dicalonkan untuk menjadi pemimpin selanjutnya. Disebutkan bahwa
pemimpin tongkonan adalah
to siriwa aluk sola pemali(pemangku/penanggungjawab
aluk dan pamali).
Pada awal-awal adanya beberapa penguasa di Toraja, terdapat beberapa Tongkonan Layuk, yakni Tongkonan Puan Marinding, Tongkonan Kesu'(Tomanurun Puang Di Langi' Ri Kesu') dan Tongkonan Kaero(Tomanurun Membio Langi') serta Tongkonan Tomanurun Puang Tamboro Langi'.
|
pict. 1994 |
sumber: red.raputallangku, Kobong(2008), Yansen T.(2010)
ADS HERE !!!